Minggu, 26 April 2009

Kedai Kopi di Aceh

KEDAI KOPI:
Sebuah Fenomena dalam Pembangunan Partisipatif di Aceh

Oleh: Nana Widiestu, SS |
Sekretariat-Arsiparis BRR Aceh Nias




SURAT Kabar Rakyat Aceh, Jumat 17 Nopember 2006, menulis ″...pada saat turun hujan, barak kami bocor” ungkapnya dalam sesi tanya jawab pada "Sosialisasi Peraturan Perumahan BRR dan Peranan Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Desa (KP4D)" di Rodya Cafe, Banda Aceh” 1 Kalimat itu sangat menggelitik minat saya, orang awam yang baru bekerja di Banda Aceh selama 2 bulan, untuk mengamati fenomena budaya tradisonal yang dianut masyarakat Aceh. Saya menggarisbawahi ″Rodya Cafe”, karena sepengetahuan saya istilah Cafe di Banda Aceh merupakan tempat setingkat kedai kopi biasa, dan bukan tempat minum kopi yang mewah seperti bayangan saya bila sekali-kali saya mampir ke ″cafe” di Jakarta. Bagaimana bisa kedai kopi dijadikan tempat menyelesaikan masalah besar pikir saya kemudian. “Kedai kopi di Aceh rupanya merupakan lembaga budaya yang sangat merakyat dan biasa dijadikan media penyelesaian masalah di antara meraka”, begitu kesimpulan awal saya.

Minuman yang berasal dari ″mutiara hitam” ini mungkin menjadi salah satu minuman favorit dalam peradaban manusia. Kopi diminum dengan berbagai macam cara, kombinasi ramuan bahkan yang marak belakangan ini melanda kota besar di Indonesia adalah dijadikanya ngopi sebagai gaya hidup modern. Tentunya fungsi ini sudah jauh berbeda dengan kedai kopi yang konon pertama kali berdiri di Konstantinopel pada 1475 dengan nama Kiva Han. Gaya hidup ngopi setelah penat bekerja seharian, baik bersama kawan maupun rekan sekerja, mudah dijumpai diberbagi kedai kopi di setiap sudut kota besar seperti Jakarta. Ngopi bukan lagi sekedar minuman ritual disaat sarapan atau pengganjal rasa mengantuk semata, tetapi ngopi sudah menjadi prilaku untuk bersosialisi dan bahkan cap diri dalam status sosial masyarakat tertentu.

Kedai kopi atau dalam istilah yang lebih moderen disebut Kafe atau ″Cafe” tumbuh menjamur di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia dengan beberapa waralaba asing sebagai pemeran utamanya, seperti “Starbuck”, “Coffeabean”, ″Dome”, “Segafredo”, ″Oh la la”, “Excelso” dan lusinan nama lainya...″it is a such western life style invasion in the name of modernization ....”

Keadaan seperti ini mudah juga dijumpai di bumi Serambi Mekkah, ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. “Cafe-Cafe” modern (dilengkapi dengan AC, perangkat teknologi canggih dan interior modern) tersebut memang tidak akan dijumpai dan mungkin tidak akan “sold out” walaupun didirikan, hanya “Cafe Caswell” yang berani berekspansi di Banda Aceh, itu pun pelanggannya bule-bule ekspatriat yang mungkin agak sedikit ”takut” berdapatasi dengan gaya ngopi tradisional ala Aceh. Sebagai gantinya akan dengan mudah dijumpai “Cafe” Cek Nur (Cek dalam Bahasa Aceh artinya paman atau bibi), “Cafe Jasa Ayah” dan sejenisnya. Kadang kedai ini juga biasa menggunakan istilah warkop (warung kopi) untuk menamakan dirinya. Biasanya Kedai kopi ini juga memiliki “partner” warung makan nasi yang menyajikan masakan asli Aceh sebagai alternatif pilihan menu. Hal inilah yang menjadi pembeda dalam terminolgi “Cafe” modern yang menyajikan makanan berat sebagai bagian dari layanan mereka.

Di Banda Aceh, hampir di setiap pertemuan jalan, berdiri 2 atau 3 kedai kopi disudutnya dan bila di jalan raya lurus memanjang, hampir setiap 50 atau 100 meter akan dijumpai kedai kopi yang berbeda. Bukan pemandangan aneh bila ada 5 ruangan ruko yang berdiri, 2 diantaranya berdiri kedai kopi, bahkan kedia-kedai kopi yang berbeda pemilik itu dapat menjalankan usahnya secara berdampingan secara harmonis. Setiap Kedai memiliki minimal 12 meja (setiap meja dapat menampung 4 orang) sebagai tempat menikmati kopi. Keadaan seperti ini bukan saja terjadi di daerah pusat Kota Banda Aceh saja, tetapi juga sampai ke pelosok, sungguh pemandangan yang menarik.

Akhirnya saya mengambil kesimpulan berikutnya, bahwa ngopi adalah bagian dari budaya dan cara orang Aceh bersosialisasi. Saya juga teramat yakin, meski saya bukan antropolog atau sosiolog handal, bila budaya minum kopi modern yang menginvansi budaya Aceh baru sebatas peminjaman istilah “cafe” untuk penamaan saja, tetapi bukan pada fungsi sosialnya apalagi bila hal itu dianggap fungsi budaya, masih terlalu jauh.

Budaya tradisonal masyarakat Aceh yang senang berkopi-ria di kedai bukanlah merupakan imbas gaya hidup modernitas yang berasal dari negara barat seperti yang terjadi di kota besar seperti Jakarta, tetapi memang orang Aceh masih memegang teguh budaya tradisonal itu. Keadaan yang menarik untuk diamati karena orang Aceh senang sekali berkumpul untuk ngobrol, sambil ditemani secangkir kopi, rokok dan cemilan khas Aceh, entah itu di pagi hari sebagai pengganti sarapan, jam 10 pagi, di siang hari setelah makan siang, menjelang sore atau malam hari setelah makan malam.

Tak heran bila kemudian pemandangan yang sering kita jumpai di Aceh adalah kedai kopi selalu saja ramai dari waktu ke waktu (seorang rekan dari Jakarta bahkan pernah berguman atas keheranannya melihat seringnya orang Aceh berkumpul di kedai kopi). Saya malah berpikir lebih jauh lagi tentang kebiasaan orang Aceh yang agak mirip dengan kemaniakan orang Italia akan ngopi dan kongkow di ”bar” (Orang Italia menyebut kedai kopi dengan ”bar”, adakah hubungannya?). Apakah murahnya harga secangkir kopi yang berkisar antara Rp.1500 sampai Rp. 3000 per gelas kecil yang menjadi daya tarik mereka? (bandingkan dengan harga secangkir eksepresso atau capuccino (di Aceh di kenal sebagai ”sanger”) dan varianya di “cafe-cafe” Jakarta yang bisa mencapai Rp.20.000 secangkir kecil) atau keanekaragaman cara penyajian dan rasa kopi, meski tradisional, yang menjadi daya tarik lain? (sebuah kedai kopi yang sangat laris di wilayah Ulee Kareng, Banda Aceh, konon menyajikan kopi yang bisa membuat orang yang meminumnya menjadi lebih “riang” dan kopi Aceh ditenggarai tidak membuat jantung berdetak lebih kencang, kombinasi yang patut dicoba)

Lebih dari itu, banyak anak sekolah meyelesaikan tugas sekolahnya di kedai kopi dan orang dewasa menyelesaikan urusan ”berat” antar mereka juga di kedai yang sama. Itulah cerminan yang sangat nyata dari fungsi kedai kopi di Banda Aceh. Obrolan-obrolan yang mereka bicarakan tentu tidak sekedar obrolan ngalor ngidul tingkat kedai kopi saja, tetapi adakalanya sebuah rapat kerja dan ”lobbying partnership” yang melibatkan antara sebuah lembaga besar dengan institusi kemasyarakat lokal harus diselesaikan di kedai kopi sebagaimana yang telah saya kemukakan di alenia pembuka.

Paradoks ini sangat menarik untuk dibandingkan, karena bila banyak para “white-collar employee” di Jakarta menyelesaikan rapat informal mereka di kafe karena imbas budaya modernisasi, tetapi di Banda Aceh justru budaya tradisonal seperti ini yang dipakai lembaga besar yang modern untuk menyelesaikan masalah mereka dalam rangka pembangunan di Aceh, khususnya paska bencana besar tsunami di akhir tahun 2004. Hal ini membuat saya bangga meski saya bukan berasal dari suku Aceh.

Metode sederhana ini, pendekatan kepada masyakat melalui kedai kopi, siapa tahu dapat dipakai lembaga-lembaga lain yang belum atau berencana membangun dan merekonstruksi Aceh, sebagai pertimbangan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat yang mendasar. “Di tempat yang sederhana, murah dan merakyat kita dapat menyelesaikan masalah yang tidak sederhana, tidak murah dan belum tentu merakyat”. Toh pembangunan yang bersifat partisipatif menjadi salah satu visi lembaga sebesar BRR dalam memaksimalkan kinerjanya. Nah, partisipatif itu dapat dimulai dari kantong-kantong masyarakat bernama kedai kopi. Mudah-mudahan saja dengan pendekatan ini, friksi-friksi yang sering muncul dalam pembangunan yang melibatkan masyakarat di Aceh akan sedikit berkurang.

Seandainya suatu waktu Anda berkunjung ke Aceh, khususnya Banda Aceh, amati keadaan ini dan cara paling mudah untuk mengetahui issu apa yang sedang terjadi tanpa harus bersusah payah mencari surat kabar (lebih banyak kedai kopi dibanding kios penjual koran di Banda Aceh) datanglah ke kedai kopi, lebih baik dengan kolega Anda yang mengerti logat Aceh, karena apa yang mereka bicarakan merupakan cerminan apa yang terjadi, atau bila Anda ingin mengenal mereka lebih dekat coba mulailah dengan ngopi di kedai kopi, sederhana memang, tetapi Anda sangat mungkin mencobanya.

Mungkin selain ”Meunasah” (Mushola) dalam bidang keagaman, bisa dikatakan bila warung kopi dapat dijadikan salah satu alat sosialisasi yang sangat efektif dan kemudian apakah kedai atau warung kopi khas Aceh bisa dijadikan salah satu ikon baru dalam budaya masyarakat Aceh ? will see.(nana)



Note:

1 ”Rekonstruksi Perumahan dan Pemukiman Sarat Masalah” Rakyat Aceh, Jumat 17 Nopember 2006, p.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar